UNDANGAN KEIKHLASAN
Oleh Munjiyah Dirga Ghazali
Meniti kehidupan yang lebih baik
Ketika rasa dan rindu membeku
Membeku dalam kalbu
Menghempas sang waktu
Meraung- raung sangar dan kasar
Mencoba menghapus jejakmu
Dalam gelombang arus lautan yang biru
Ketika semuanya harus ada dan tiada
ketika ketidakpedulian merajalela
ketika keterhempasan terkungkung
saat semuanya datang menebarkan wangi
namun ia mencoba menebarkan luka
luka dari dalam
bukan luka dari kesalahan yang sama
Terlalu sering berdiam diri
hingga sepi kian membeku
menjadi butiran- butiran embun kecemburuan
hingga esok tak berbekas lagi
pergi menjauh mengusir sepi yang kian membeku
tak terjamaah oleh kerinduan yang memuncak- muncak tajam
oleh seseorang yang terluka
pergi dan bahagia
tak kembali meski ia tahu segalanya
pura- pura tak tahu
ia membungkus sepi dan kerinduan
lalu membawa pergi dan membuangnya
hingga anak kecil memungut
lalu membentuk sepi itu menjadi cinta
cinta yang selalu terkungkung luka
bukan cinta sembarang
tapi cinta dari dalam hati
cinta suci sang pujangga
semakin reot dalam pencarian
hingga semuanya berakhir palsu
oleh kenyataan yang semakin mengekang
oleh kenyataan yang semakin menyiksa
dunia ini panggung sandiwara
ada kata dan makna
bermain dalam permainan dadu
terbolak- balik hingga kita terjatuh
terjatuh namun bangkit kembali
dunia ini teater sementara
belajar memaknai hidup
dalam menjadi insan yang kuat
menuju rumah Sang Khalik
Ketika rindu sementara pada sang kekasih
tak mampu menandingi rinduku
tak mampu menandingi kegelisahanku
ingin bertemu padaMu
melihat angka nilai ujianku
yang kau berikan padaku
melihat nilai teater dan dramaku selama hidup
aku ingin semuanya berakhir dengan indah
Ketika kau panggil namaku dengan indah
ketika undangan kematianku tergeletak di atas meja
ketika undangan itu kubuka dan kubaca
dan kutulis sebuah surat perpisahan untuk orangtuaku
lalu menyiapkan diri mengahadapMu
meski tak dapat bahagia di dunia
Namun aku harusnya bahagia
kau mengundangku kembali ke rumahMu
di tempat dulu aku berdialog mesra denganMu
ketika aku menangis melihat dunia yang menyambutku
Makassar, 17 Januari 2010